MASALAH PENGELOLAAN TAMBANG
Kegiatan industri penambangan menimbulkan pengaruh baik pengaruh positif
maupun negatif. Pengaruh positif kegiatan penambangan yaitu memberikan
kontribusi terhadap peningkatan pendapatan asli daerah, membuka keterisolasian
wilayah, menyumbangkan devisa negara, membuka lapangan kerja, pengadaan barang
dan jasa untuk konsumsi dan yang berhubungan dengan kegiatan produksi, serta
dapat menyediakan prasarana bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya
(Mangkusubroto, 1995). Menurut Salim (2007) dampak positif dari kegiatan
pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1. Memberikan nilai tambah secara nyata
kepada pertumbuhan ekonomi nasional;
2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) ;
3. Menampung tenaga kerja, terutama
masyarakat lingkar tambang;
4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar
tambang;
5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat
lingkar tambang;
6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat
lingkar tambang; dan
7. Meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat lingkar tambang.
Namun secara alami keberadaan deposit sumberdaya tambang selalu
berinteraksi dan berkaitan dengan lingkungan habitatnya, seperti tanah, air dan
tumbuh-tumbuhan. Karena itu salah satu faktor mendasar yang tidak dapat
dihindari pada saat melakukan eksploitasi deposit tambang tersebut adalah
terjadinya degradasi lingkungan. Pengelolaan sumberdaya tambang yang tidak
berpedoman pada prinsip-prinsip ekologi, dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
yang besar. Apabila melewati daya dukung, daya tampung dan ambang batas
terpulihkan akan berakibat pada kerusakan lingkungan permanen. Kerusakan
lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup (UU Nomor 32 tahun 2009). Beberapa kejadian
sebagai dampak negatif dari kegiatan pertambangan dapat dilihat dari terjadinya
ancaman terhadap lingkungan fisik, biologi, sosial, budaya, ekonomi dan warisan
nasional (Barton, 1993), ancaman terhadap ekologi dan pembangunan berkelanjutan
(Makurwoto, 1995).
Dampak negatif terhadap ekologi di berbagai daerah bekas tambang dapat
dilihat di tambang emas di Kalgoorie Australia Barat, bekas tambang timah di
Pulau Dabo Singkep yang menyebabkan air tergenang pada lubang-lubang bekas galian
sebagai sarang malaria, hamparan tanah gundul yang tidak produktif (Kasus ANTAM
Pomala dan PT. Inco), rona kota terkesan sebagai kota mati (Katili, 1998),
serta menurunnya kualitas tanah dan air, serta lubang-lubang bekas tambang
batubara di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Pengaruh penambangan di bidang sosial ekonomi sangat terasa menjelang dan
berhentinya operasi perusahaan, seperti pendapatan masyarakat menurun, terjadi
pemutusan tenaga kerja, tidak adanya lapangan kerja, pola produksi dan konsumsi
menurun, pendapatan dan penerimaan pemerintah dari pajak tambang dan retribusi
menurun. Dampak lanjutannya yaitu Konflik antar etnis, konflik budaya, konflik
tanah, kemiskinan dan pengangguran, persepsi negatif terhadap perusahaan,
kualitas hidup, partisipasi dan peranan wanita.
Menurut Noor (2006) permasalahan yang sering muncul dari kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral adalah terjadinya penurunan
kualitas lingkungan seperti pencemaran pada tanah, polusi udara, dan hidrologi
air. Beberapa contoh lokasi tambang yang telah mengalami penurunan kualitas
lingkungan, antara lain tambang timah di Pulau Bangka, tambang batu bara di
Kalimantan Timur dan tambang tembaga di Papua. Lubang-lubang bekas penambangan
dan pembukaan lapisan tanah yang subur pada saat penambangan, dapat
mengakibatkan daerah yang semula subur menjadi daerah yang tandus. Diperlukan
waktu yang tidak sebentar untuk kembali ke dalam kondisi semula. Polusi dan
degradasi lingkungan terjadi pada semua tahap dalam aktivitas pertambangan.
Tahap tersebut dimulai pada tahap prosesing mineral dan semua aktivitas yang
menyertainya seperti penggunaan peralatan survei, bahan peledak, alat-alat
berat, limbah mineral padat yang tidak dibutuhkan (Noor, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qomariah (2002) dampak
akibat aktivitas pertambangan batu bara bukan hanya menimbulkan polusi udara
yang mengakibatkan penurunan kesehatan atau penyakit ISPA (infeksi saluran
pernapasan akut), melainkan juga timbulnya cekungan besar yang dikelilingi
tumpukan tanah bekas galian yang telah bercampur dengan sisa-sisa bahan tambang
(tailing). Pada saat musim hujan, cekungan tersebut dialiri air dan berubah
menjadi danau. Sisa-sisa bahan tambang mengalir ke sungai-sungai dan menutupi
lahan pertanian serta areal perkebunan. Hal ini mengakibatkan hilangnya
vegetasi (tanaman) populasi satwa liar dan menurunnya kualitas air. Sementara
itu di daerah bagian hilir pasca tambang, rawan terjadinya bencana erosi akibat
sedimentasi tanah.
Dampak penambangan terhadap sumberdaya tanah, seperti: (1) Kerusakan bentuk
permukaan bumi; (2) Menumpuknya ampas buangan; (3) polusi udara; (4) Erosi dan
sedimentasi; (5) Terjadi penurunan permukaan bumi; (6) kerusakan karena
transportasi alam dan yang diakibatkan pengangkutan alat-alat berat (Sudrajat,
1999), permukaan tanah runtuh sehingga menjadi gersang dan sukar dihijaukan
kembali (Katili, 1998), menimbulkan erosi dan sedimentasi, terjadinya pemadatan
tanah, terganggunya flora dan fauna yang disekitar wilayah tambang (Kusnoto dan
Kusumodirdjo, 1995), terjadi perubahan iklim (Hardiyanti, 2000).
Penambangan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan dapat menyebabkan
berupa pembersihan lahan dan pengusapan lapisan atas tanah yang akan menyebabkan
terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor sebagai
akibat dari hilangnya vegetasi penutup tanah. Selain itu, penambangan
menyebabkan rusaknya struktur tanah, tekstur, porositas dan bulk density
sebagai karakter fisik tanah yang penting bagi perturnbuhan tanaman. Kondisi
tanah yang kompak karena pemadatan menyebabkan buruknya sistem tata air (water
infiltration and percolation) dan peredaran udara (aerasi) yang secara langsung
dapat membawa dampak negatif terhadap fungsi dan perkembangan akar. Rusaknya
struktur dan tekstur juga menyebabkan tanah tidak mampu untuk menyimpan dan
meresap air pada musim hujan, sehingga aliran air permukaan (surface run off)
menjadi tinggi. Sebaliknya tanah menjadi padat dan keras pada musim kering
sehingga sangat berat untuk diolah yang secara tidak langsung berdarnpak pada
kebutuhan tenaga kerja.
Kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara paling parah diakibatkan
oleh teknik penambangan open pit mining yaitu dengan menghilangkan vegetasi penutup
tanah, mengupas lapisan atas tanah yang relatif subur. Teknik open pit mining
ini biasanya digunakan ketika cadangan batubara relatif dekat dengan permukaan
tanah dan biasa diterapkan oleh perusahaan yang relatif bermodal kecil sehingga
hanya mampu menggunakan teknologi rendah yang bersifat tidak ramah lingkungan.
Teknik ini sangat memungkinkan merusak alam antara lain perubahan sifat tanah,
munculnya lapisan bahan induk berproduktivistas rendah, lahan menjadi masam dan
garam yang meracuni tanaman, dan terjadinya erosi dan sedimentasi.
Dampak perubahan iklim pun dapat dirasakan pada daerah penambangan, akibat
konversi hutan menjadi pertambangan menjadikan suhu dibeberapa kota daerah
tambang naik beberapa digi, misalnya suhu di Kota Samarinda naik hampir 1,5
digit. Sedangkan dampak turunannya yaitu banjir, dan timbul banyak
penyakit-penyakit, seperti : Muntahber, ISPA, Kulit dan lain-lain.
Hasil penelitian Purwadi (2002), penambangan di lembah Cartenz dan lembah
Wanagon Papua, menyebabkan buangan limbah tambang yang menyusur sepanjang
sungai bermuara ke pantai dan telah merubah ekosistem akuatik. Hasil penelitian
yang dilakukan Rompas (2002), aktifitas penambangan di Minahasa menyebabkan
2000 ton limbah setiap hari dibuang ke Teluk Buyat, dan rata-rata 100.000 ton
limbah aktifitas tambang yang dibuang ke Teluk Senunu Sumbawa Nusa Tenggara
Barat, yang menyebabkan kerusakan ekosistem, terumbu karang dan perikanan di
sekitar perairan. Limbah penambangan yang terbawa air ke hilir, menurunkan
kualitas perairan yang dapat merubah ekosistem perairan dan komunitas biota air
(Vesilind et. al, 1990). Aliran permukaan yang mengandung logam berat akan
mencemari perairan permukaan maupun air tanah, selanjutnya merusak keadaan
lingkungan dengan aktifitas sistemik dan keadaan cuaca yang buruk (Koyanagi,
1994).
Proyek batu hijau yang dilancarkan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara di
kabupaten Sumbawa dengan total deposit -4,8 juta ton tembaga dan 390 ton emas,
dengan sistem kontrak karya yang masih sangat merugikan kabupaten lokal.
Masyarakat disekitar tambang merasakan adanya kerusakan lingkungan, longsor,
banjir, kekeringan, tercemarnya air dan udara, komitmen tenaga kerja -60 persen
lokal dan 40 persen non lokal yang tidak dipatuhi perusahaan, konflik
pertanahan dan munculnya masalah-masalah sosial. Proyek batu hijau adalah jenis
tambang terbuka (open pit), yang pada akhir usia tambang akan meninggalkan
lubang menganga selebar 2 km dengan kedalaman 1 km. Bila diproyeksikan dalam
dua puluh tahun yang akan datang (sesuai usia tambang) proyek batu hijau tidak
akan membawa kemajuan yang berarti bagi pembangunan Sumbawa dan NTB, malah
dikhawatirkan akan menjadi daerah miskin ditengah kelimpahan. Bahkan tidak
mungkin daerah tambang – Jereweh, Taliwang dan Seteluk – akan menjadi Ghost City (kota hantu) yang ditinggalkan
penghuninya.
Berdasarkan data-data kerusakan lingkungan diatas, bangsa Indonesia patut
berpikir jangka panjang mengenai masa depan Indonesia. Ada suatu teori mengenai ducth deases atau penyakit Belanda yakni suatu
situasi dimana negara-negara penghasil sumber daya alam pernah menikmati rejeki
melimpah ketika terjadi kenaikan sumberdaya alam secara berlipat ganda. Akan
tetapi ketika harga sumberdaya alam tersebut turun secara drastic,
Negara-negara yang kaya tersebut sulit menyesuaikan diri dengan situasi ekonomi
yang baru. Sehingga kalangan ahli ekonomi mineral menyebutkan fenomena tersebut
justru telah memiskinkan suatu Negara dimana kekayaan alamnya justru
melimpah atau teori resource curse. Dalam
khasanah bahasa Indonesia, konsep tersebut seperti pepatah yang berbunyi
“ayam mati di lumbung padi” atau “merana ditengah kelimpahan”.
Pada tahun 1998, pemerintah propinsi Hokaido Jepang, membuat kebijakan out of the box, yaitu menutup pertambangan batubara di
Propinsi itu karena dinilai tidak ekonomis dan tidak jelas sumbangannya untuk
membangkitkan sektor lain. Selanjutnya pemerintah Hokaido bekerja keras
membangun sektor lain diluar pertambangan yang terbukti berhasil. Negara-negara
tempat asal perusahaan-perusahaan multinasional seperti Amerika, Canada dan
Eropa Barat, memandang kekayaan mineral sebagai sumberdaya terakhir (the last
resource), bahkan saat ini sedang digalakkan penghentian sementara (moratorium)
dibidang pertambangan. Namun justru sebaliknya yang terjadi di Indonesia,
pemerintah atas nama pemberantasan kemiskinan, menjual murah tanah-tanah kepada
pemodal asing untuk melakukan investasi dibidang pertambangan.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar